--> Skip to main content

Dimensi Paripurna Pribadi Nabi Muhammad saw (Part 2)


Tertawa beliau umumnya ha-nya senyum. Kalaupun melebihi sen-yum, itu tidak sampai terbahak. Paling-paling antara gigi taring dan gerahamnya saja yang terlihat. Tangis dan keprihatinannya lebih banyak daripada tertawanya. Sabdanya: “Jika kalian mengetahui apa yang kuketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.” Tak heran karena memang al-Quran mengecam kaum musyrik:  Apakah kalian merasa heran terhadap penberitaan ini, dan kalian menertawakan serta tidak menangis? (QS. 53:59-60).

Ketika putranya Ibrahim wafat, beliau menangis. “Air mata berlinang, hati duka, tetapi kita tidak berucap kecuali yang diridhai Allah. Kami dengan kepergianmu, hai Ibrahim, sungguh sedih.” Demikian beliau melepas putra kesayangannya. Ketika Ibn Mas’ud membaca surat al-Nisa’, beliau tekun mendengarnya. Tapi beliau meminta sahabatnya itu untuk berhenti, karena beliau tak kuasa menahan tangisnya, ketika sampai pada firman-Nya:  “Maka bagaimana-kah keadaannya apabila Kami menda-tangkan seorang saksi dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu? (QS. 4:41)
Kemurahan dan kerendahan hati Nabi saw sangat menonjol. Beliau tidak menggunakan atau menerima sedikitpun sedekah, tetapi menerima hadiah dan menganjurkan untuk saling bertukar hadiah. Dari orang Nasrani dan Yahudi pun beliau mene-rima hadiah dan membalasnya. Raja Mesir, al-Muqauqis, antara lain pernah memberinya hadiah keledai (baghal) yang kemu-dian dikendarai beliau dalam pepe-rangan Hunain. Tetapi beliau meno-lak hadiah kuda dari Amir bin Malik karena kemusyrikan-nya. “Kita tidak menerima hadiah dari musyrik,” sabda beliau. Namuan demikian, beliau membenarkan sese-orang menerima hadiah dari keluar-ganya yang musyrik. Asma’ putri Abu Bakar per-nah menolak hadiah ibunya yang masih musyrik. Tetapi, ketika A’isyah saudari Asma’ dan istri Nabi mena-nyakan sikap tersebut kepada beliau, turun ayat al-Quran yang menyatakan:  Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil (memberi sebagian dari hartamu) terhadap mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula
mengusir dari negerimu…(QS. 60:8)
Jadi setelah turun ayat ini, Rasul membolehkan umatnya menerima hadiah sekalipun dari seorang musyrik. Walau demikian, Raul saw mewanti-wanti pejabat yang menerima hadiah, jangan sampai di belakang hadiah itu terdapat motif yang ti-dak lurus. “Apakah bila duduk di rumah ibunya (tidak menjabat), ia di-beri pula hadiah itu?” Beliau enggan dipuji, baik pujian pada tempatnya, apalagi bu-kan pada tempatnya. Dua orang
penyanyi mendendangkan lagu menyebut-nyebut syu-hada perang badar. Ketika mereka bersyair, “Ada Nabi di sisi kami menge-tahui yang terjadi esok”, Nabi menegur mereka: “Yang demikian jangan diu-capkan.” Tak bisa disangkal bahwa beliau adalah semulia-mulia nabi. Namun, ketika seorang memanggil beliau de-ngan ucapan “Ya, Khairal-bariyyah” (wahai, manusia terbaik), beliau mene-gurnya sambil berkata: “Panggilan itu untuk Nabi Ibrahim.” Dan meski Allah menyatakan bahwa  Rasul-rasul itu kami muliakan sebagian mereka atas sebagian yang lain (QS. 2:253),
Nabi saw menegaskan seba-gaimana diriwayatkan oleh Bukhari: “Jangan pilah-pilah kebaikan para nabi.” Ini, tentunya, agar tidak menim-bulkan kesan negatif terhadap sese-orang di antara sikap merendahkan mereka atau tidak beriman kepada kenabian mereka. Bu-kankah Allah meng-ajar-kan Muslim untuk ber-ucap  Kami tidak membe-dakan antara seorang pun dengan yang lain dari ra-sul-rasul-Nya (QS. 2:285).

Nabi saw sangat sayang kepada anak-an-ak. Beliau mengucap kan salam kepada mereka sambil menyapanya. Bahkan boleh jadi menggendongnya. Ketika seorang anak pi-pis di pangkuan beliau, pengasuhnya merebut sang anak dengan kasar. Maka beliau mene-gurnya: Biarkan dia pipis. Ini (sambil menunjuk pakaian beliau yang basah) dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apa yang dapat menjernihkan kekeru-han hati anak ini akibat renggutan yang keras?” Keramahan dan kasih sayang beliau mencakup segala orang. “Kasi-hanilah petinggi satu kaum 
yang jatuh hina,” demikian sabdanya.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar