--> Skip to main content

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)



Keterbukaan terkait erat dengan kepentingan partisipasi politik rakyat untuk menjamin berlangsungnya control politik secara efektif oleh masyarakat serta akuntabilitas poltik dari pemerintah. Tanpa fungsi control dan akuntabilitas akan memudahkan untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu benruk penyalahgunaan kekuasaan tersebut adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius, dan merupakan kejahatan yang Luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan KKN telah ditetapkan oleh MPR sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi belum menunjukkan arah perubahan dan hasil sebagaimana yang diharapkan. Korupsi merupakan salah satu hambatan terburuk dalam pembangunan suatu bangsa. Korupsi sangat dinikmati oleh orang-orang kaya tetapi sangat menyengsarakan orang-orang miskin. Dari studi kasus di empat negara itu, menurut Vinay Bhargava dan Emil Bolengaita, korupsi adalah salah satu hambatan terbesar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah negara, dan rentan sekali menambah kemelaratan warganya.
Dalam buku Challenging Corruption in Asia, kedua peneliti itu mengingatkan bahwa banyak negara menjadi lumpuh karena lemahnya anticorruption system pengadilan sehingga mengganggu pelaksanaan kontrak hak milik, belum lagi dengan persoalan keadilan bagi setiap warga negara. Dan, pembangunan ekonomi dengan stabilitas dan pemerataannya sering tidak tercapai, karena korupsi meliputi jalur-jalur birokrasi dan pedagang. Suatu masyarakat dan bangsa yang telah menderita korupsi sebagai kanker masyarakat dan telah membudaya, perlu perjuangan keras untuk mengikisnya dan kita butuh waktu yang cukup lama untuk mengurangi tindak korupsi serta banyak risikonya.
Korupsi pada birokrasi tidak bisa dipukul rata. Korupsi pada birokrasi untuk keperluan primer dan pendidikan anak-anak adalah kesalahan utama pemerintahan masa lalu. Korupsi tipe ini adalah untuk menyambung hidup dan kesalahannya terletak pada masa lalu yang meminta rakyat (termasuk PNS) berkorban dan mengabdi, sedang elite pemerintah mengeruk kekayaan negara dan kekayaan alam dengan seluruh keluarganya. Korupsi di BUMN, Bank, dan pada elite pemerintah lainnya adalah korupsi untuk menguras kekayaan negara yang dibagikan untuk tujuh turunan. Koruptor yang seperti itu perlu dihukum mati, bukannya koruptor kelas teri seperti yang sering dibawa ke pengadilan dan diekspose media massa. Koruptor hanya diadili sebagai klise, tetapi tetap saja berkeliaran di luar penjara, malahan bisa jalan-jalan ke luar negeri bersama keluarga “asal bayar”.
Gerak langkah pemberantasan korupsi yang mengedepankan "mempermalukan" di muka publik dengan aib yang melekat pada seseorang terbukti telah kontraproduktif dan antipati terhadap gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri. Konsekuensi lanjutan yang tampak adalah resistansi menguat dan politisasi menajam terhadap setiap gerak langkah Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi sejak pembentukannya. 
Masalah pemberantasan korupsi di masa mendatang bukan terletak pada faktor penghukuman semata-mata, melainkan seberapa jauh kinerja KPK dan Kejaksaan Agung dapat membangun sistem birokrasi yang "aman dan terlindungi" dari perilaku koruptif serta seberapa banyak kontribusinya terhadap kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pengembalian aset hasil korupsi yang disembunyikan di dalam negeri dan ditempatkan di luar negeri.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar