--> Skip to main content

Memaknai Hari Kebangkitan Nasional [2]

Dihari kebangkitan nasioanal, utang luar negri semakin menumpuk dan Sumber daya alam disandera asing.
Hari Kebangkitan Nasional, apakah sebenarnya Bangsa Indonesia itu udah bangkit. Menurut saya sedang bangkit tetapi juga sedang ditekan asing. Dan tekanan pihak asing lebih besar daripada daya bangkit bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, semua sektor yang ada banyak yang dikuasai oleh asing. Mulai dari Pertambangan, perkebunan, pertanian, Ekonomi, Pendidikan, sampai pada budaya.
Disektor pertambangan sangat parah, hampir semua tambang dikuasai asing. Ada Newmont, Freeport,dll yang semuanya kurang memakmurkan Bangsa Indonesia. Negeri yang kaya ini pun hanya terima kekayaannya diambil dan kemudian dijual lagi di negeri ini. Daerah dimana perusahaan itu berdiri malah kurang diperhatikan. Akibatnya kemiskinan semakin meraja lela. Bangsa ini seperti membeli barang dirumah sendiri dan itu milik sendiri.

Di hari kebangkitan nasioanal ini, hilangnya budaya sendiri.
Kemudian konflik masyarakat yang sering terjadi, tawuran antar pelajar, perampokan, pemerkosaan, dan yang terbaru dan lagi hangat adalah pencabulan terhadap anak dibawah umur. Demikian kondisinya menjadi tolak kebangkitan nasional?sepertinya belum. Pemuda-pemudi yang seharusnya menjadi motor penggerak kebangkitan nasional malah terpuruk terpenjara dalam kerangkeng budaya barat, dengan menganggap budaya sendiri itu kurang modern atau kampungan. Sebagai contoh dari cara berpakaian, pemuda-pemudi lebih suka gaya orang-orang barat. Dengan memakai pakaian yang bahannya kurang, membeli produk luar negeri. Padahal bahan bakunya dari Indonesia, di luar negri hanya memodifikasi kemudian memberi label. 
Cara bergaulpun pemuda-pemudi meniru budaya barat, dengan pergaulan bebasnya. Narkoba, minuman beralkohol, seks bebas sudah menjadi kebiasaan pemuda-pemudi di Negeri yang dulunya Nusantara ini.  Sebuah hal yang menurunkun moral pemuda-pemudi negeri ini. Sungguh diluar konteks untuk bangkit.

Di hari Kebangkitan nasional ini, pemimpin terlalu cinta dirinya sendiri.
Selain itu, Negeri ini pun krisis akan pemimpin yang adil dan memakmurkan rakyat. Hanya mementingkan golongan sendiri, dengan golongan lain pun menjadi sperti permusuhan. Saling sindir, sikut, caci dan lain-lain. Tepat sekali pada bulan Mei ini menjadi bulan pendaftaran Capres dan Cawapres Negeri ini, baru 2 pasangan yang telah muncul kepermukaan. Dengan isu-isu negatif dan positif mereka menjadi membingungkan bagi rakyat. Mereka hanya mementingkan kekuasaan, tak peduli mau negeri ini hancur dan menjadi milik asing yang penting perbendaharaan mereka bertambah. 

Di hari kebangkitan nasional ini sepertinya Indonesia dalam status darurat keadilan.
Krisis keadilan juga menjadi sorotan beberapa tahun ini, bagaimana tidak! nenek yang hanya mencuri beberapa biji kakao diadili dan mau dijebloskan penjara?tetapi yang jelas-jelas mencuri kekayaan negara malah bebas kemudian bersenang-senang dan kemudian menjabat kembali di pemerintahan. korupsi - korupsi meraja bahkan membabi buta. Pihak asing pun bergembira.

Kebangkitan nasional itu bukan hanya terjadi dalam sehari, tapi terus berkelanjutan sampai dunia berhenti. Rasa nasionalisme perlu dipupuk didalam jiwa-jiwa pemuda-pemudi harapan bangsa. 
"nasionalisme bukan sekedar diskursus dan wacana yang sorak-sorai. Tetapi bagaimana kita mengimplementasikan romantisme perjuangan tersebut kedalam pola pikir, pola sikap dan perilaku kebangsaan selaras dengan tuntutan zaman," kata Mayjen TNI Benny Indra Pujihastono.

Untuk membangun Indonesia baru yang lebih baik di masa depan merupakan tugas dari kepentingan kelompok dan individu, berpikir kedaerahan, cara berperilaku kepartaian atau golongan. Karena itu, nasionalisme yang diperlukan adalah nasionalisme yang berkontribusi bagi kedaulatan dan harga diri bangsa kita.






              “Kalau Indonesia merdeka boleh ditebus dengan jiwa seorang anak Indonesia, 
               saya telah memajukan diri sebagai kandidat yang pertama untuk pengorbanan ini”.
(Oto Iskandar Dinata, Harian Tjahaja 29 April 1945)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar