--> Skip to main content

CERITA SEORANG BAPAK DI DALAM KERETA API YANG BEGITU MENGINSPIRASI


CERITA SEORANG BAPAK DI DALAM KERETA API YANG BEGITU MENGINSPIRASI
Photo by Yogi Permana
Atmosferku.com - Ini cerita saya sewaktu pulang pengembaraan dari Jabodetabek, tapi yang dikunjungi cuma Bekasi, Jakarta sama Bogor. Hehehe. Pulangnya saya menggunakan angkutan ekonomi massal, tidak lain dan tidak bukan, angkutan tersebut adalah Kereta Api. Ada pengalaman yang tak disangka-sangka, ini lah yang namanya Keajaiban Ilmu Allah, karena berada dimana saja dan kapan saja bahkan kita tidak akan menyadarinya. Saat masuk kereta ya biasa, mencari tempat duduk sesuai dengan nomor tempat duduk yang tertera ditiket. Gerbong Ekonomi 1 20C. Ternyata deretan tempat duduknya masih kosong, sedang tempat duduk hadapannya ada dua orang anak muda, lelaki dan perempuan, namun keduanya tidak saling mengenal. Saya pun duduk, tak berapa lama, datang seorang Bapak sebut saja Pak Abdullah, usianya sekitar 60 tahun tapi masih segerr, sehat, semangat. Beliau duduk diantara anak lelaki dan perempuan tadi.

HIDUP SEBENARNYA MENUNGGU SAMPAI

Kebiasaan saya adalah tersenyum ketika berhadapan, ekh Bapaknya balas dengan senyuman yang lebih ramah. Saya pun nyletuk. 

"Turun dimana Pak?"

"saya turun di Kebumen, adek turun dimana?", sahut Pak Abdullah ( sengaja tidak saya sebutkan namanya, agar tidak melanggar kode etik jurnalistik. Hehehhe...)

"Kok sama Pak, saya juga tujuannya ke Kebumen. Bapak Kebumennya mana?", sahut saya dengan ceria. ^ ^

"Saya Prembun Dek, ini nanti turun di stasiun Kutoarjo", balas ramah si Bapak.

Kemudian datang dua orang laki-laki, yang satu masih muda (sebut saja Mas Boy karena gayanya necis) yang satu lagi sudah Bapak-Bapak (sebut saja Pak Drajat). Keduanya duduk disebelah saya. Dalam perjalanan pun kita berempat berdiskusi kesana kian kemari. Yang disayangkan, anak muda yang perempuan dan laki-laki tadi tidak bergeming dan mengeluarkan suara. Padahal saya lihat keduanya adalah mahasiswa? tapi diem saja, malah main Hp dan dengerin musik. Tapi ya sudah lah, itu pilihan mereka. 

Artikel Rekomendasi




Dari obrolan kita berempat, saya jadi tahu. Bahwa Pak Abdullah adalah seorang Haji karena dia bercerita, dan sekarang sudah tidak bekerja. Sedang Mas Boy dan Drajat adalah seorang karyawan pertamina. Wuiiih... orang hebat semua.

Pak Abdullah, beliau sudah nyaman, tenang hidupnya. Di rumah tinggal berdua bersama istrinya, anak-anaknya merantau semua. Beliau di rumah aktivitasnya ngajar ngaji anak-anak. Ke Jakarta hanya berkunjung ke rumah anaknya. Sedangkan istrinya ditinggal di Jakarta, beliau pulang duluan.

Karena beliau seorang haji, dan guru ngaji. Beliau bercerita tentang ibadah haji, dan menanyakan Pak Drajat yang notabene pegawai pertamina yang sudah mempunyai jabatan.

"Bapak sudah berangkat haji? pertamina pasti uangnya banyak, kalau bilang tidak berangkat karena masalah biaya, ya sangat bohong?", tanyaPak Abdullah

Saya hanya menyimak, karena saya sendiri belum haji juga. Dan biaya sama sekali belum ada (semoga segera diadakan sama Allah.. Aamiin) 

Pak Drajat menjawabnya dengan malu, "Iya sih pak, tapi rasanya kaya belum terpanggil".

Mendengar jawaban Pak Drajat, Pak Abdullah nengok ke saya dan bilang.
"mas, sebenarnya hidup itu apa sih?", tanya Bapak tersebut. Namun saya diem dan tersenyum.
.
Beliau pun melanjutkan, bercerita bahwa hidup itu ya kita menunggu kematian, kalau yang namanya menunggu pasti memikirkan apa yang ditunggu. Nah, kita juga demikian, menunggu kematian makanya kita harusnya memikirkan itu. Kaya sekarang kita naik kereta api. Kita berangkat dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Kebumen, bukankah kita menunggu sampai stasiun kebumen dan mikir ketika sampai nanti di jemput siapa? Bawanya apa? Pantas tidak bawaan kita sebagai oleh-oleh. Nah, hidup juga gtu, kalau sudah sampai pada kematian, kita dijemput dengan ramah atau siksaan. Apa yang kita bawa sudah pantas atau belum untuk kita persembahkan pada Yang Agung, Allah SWT?
Jika belum, kita mau apa? mau kembali sudah tidak bisa. Mau ke depan, api menyala-nyala. Nah....
Apa iya kita mesti sampai dulu, baru kita mau beribadah? mana mungkin kan? tak sempet. Jadi sebelum sampai tujuan, kita mesti bisa dan mau untuk beribadah, apalagi sudah mampu, harus bisa haji. Kalau nunggu panggilan, mau sampai kapan? atau jangan-jangan tidak mendengar jadi merasa belum terpanggil? Contoh lagi tuh, ada adzan, jelas itu sudah merupakan sebuah panggilan, tapi kita biasa saja tetep aktivitas, bisa juga kan merasa belum terpanggil untuk sholat tepat waktu? Panggilan itu dari diri kita, kalau kita cuek ya terasa tidak ada panggilan, namun jika peka, setiap detik Allah memanggil kita semua.
.
MashaaAllah, langsung jleb mendengarnya. So, hidupku, matiku hanya untuk Allah. Begitulah seharusnya. Saya dan Pak Drajat juga mas Boy hanya diam, Beberapa saat kemudian Pak Drajat menyanyakan




Halaman Berikutnya :
  
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar