--> Skip to main content

Filosofi Padi dan Kurma: Fleksibilitas Islam Indonesia dalam Menghadapi Zaman

 

Filosofi Padi dan Kurma: Fleksibilitas Islam Indonesia dalam Menghadapi Zaman
Potret Gus Baha. (Instagram/@ulama nusantara)

Ulama hadapi koruptor? Jelajahi filsafat "padi doyong" Mbah Moen. Pahami seni berinteraksi dengan orang fasik dan kenapa Islam Indonesia memilih adaptasi.

Atmosterku.com | Filosofi Padi dan Kurma: Fleksibilitas Islam Indonesia dalam Menghadapi Zaman - Islam, sebagai agama rahmatan lil 'alamin, memiliki kekayaan interpretasi dan praktik yang luar biasa. Di Indonesia, salah satu pemikiran menarik datang dari almarhum KH. Maimun Zubair (Mbah Moen), yang mengibaratkan Islam Arab seperti pohon kurma—kokoh dan tegak—sementara Islam Indonesia seperti padi—fleksibel, merunduk, namun tak mudah tumbang diterpa angin. Filosofi ini bukan sekadar metafora, melainkan cerminan dari pendekatan dakwah dan interaksi ulama dengan realitas sosial yang kompleks.

Padi vs. Kurma: Memahami Fleksibilitas dalam Berislam


Mbah Moen menggambarkan Islam Arab sebagai kurma yang kuat, dengan kekhasan tasbihnya (dzikir) yang tak pernah lepas dari daunnya. Ini melambangkan ketegasan dan ketahanan prinsip. Sementara itu, Islam Indonesia diibaratkan padi yang "doyong-doyong sedikit," yang berarti sedikit lentur dan adaptif. Fleksibilitas ini, menurut Mbah Moen, adalah kekuatan. Saat menghadapi "angin besar" atau tantangan zaman, pilihannya adalah menjadi sekokoh kurma atau sefleksibel padi.

Baca Juga : Kepemimpinan Bukan Soal Kekuasaan, Tapi Amanah

"Doyong-doyong sitik" bukan berarti kompromi terhadap prinsip, melainkan kebijaksanaan dalam berinteraksi. Misalnya, ulama bisa menerima salam dari koruptor atau mendukung calon pemimpin yang "agak-agak" (tidak sempurna), demi kebaikan yang lebih besar. Barokah dari sifat doyong ini adalah Islam Indonesia tidak mudah roboh, karena sifatnya yang adaptif dan inklusif.

Membina atau Berteman dengan Orang Fasik: Dilema Ulama dan Jawabannya


Seringkali, ulama dihadapkan pada pertanyaan dilematis: "Bagaimana hukum berteman dengan orang fasik (pendosa)?" Jawabannya seringkali "haram." Namun, jika pertanyaannya dibalik: "Bagaimana hukum membina orang fasik?" Jawabannya berubah menjadi "baik." Inilah yang memerlukan seni dan fleksibilitas dalam berfikih.

Seorang kiai mengutip perkataan Nabi Isa AS: "Saya ibarat dokter yang mengobati orang sakit." Dokter pergi ke daerah yang banyak wabah, bukan ke tempat orang sehat. Demikian pula, seorang ulama atau pendakwah perlu berinteraksi dengan orang-orang yang "sakit" (secara moral atau spiritual) untuk membina mereka. Konteks ini menjelaskan mengapa terkadang ulama terlihat "berteman" dengan pihak-pihak yang tidak ideal, semata-mata untuk tujuan pembinaan.

Kekayaan dan Kekuasaan: Antara Fitnah dan Amanah


Perdebatan lain dalam fikih adalah mengenai kekayaan ulama. Ada pandangan bahwa kiai yang miskin itu baik agar bisa "menemani" santri-santri yang kebanyakan juga miskin. Namun, problemnya, kiai yang miskin sulit menolong santri secara materi.

Baca Juga : Jalan Hidup Kita Mungkin Takkan Sama dengan Jalan Hidup Orang Lain

Kisah Imam Syafi'i yang awalnya mengagumi kemiskinan ulama, namun kemudian belajar dari Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, guru Imam Malik, mengubah pandangannya. Ketika melihat Muhammad bin Hasan menghitung uang di ruang tamu, Imam Syafi'i terkejut. Namun, Muhammad bin Hasan menjelaskan: "Kalau kamu menyoal orang saleh kaya ini, tak kasihkan orang-orang fasik biar dipakai judi, dipakai selingkuh, dipakai maksiat. Jangan-jangan harta ini harus tetap di orang saleh kalau ke orang fasik bahaya."

Logika ini kemudian meluas ke ranah kekuasaan. Jika harta bisa menjadi amanah di tangan orang saleh, demikian pula kekuasaan. Ini menjadi salah satu alasan mengapa kiai-kiai di Indonesia, sejak zaman Wali Songo hingga sekarang, banyak yang terlibat dalam politik. Tujuannya adalah agar kekuasaan tidak dikuasai sepenuhnya oleh orang-orang yang jauh dari nilai-nilai agama, dan agar moralitas tetap menjadi tolok ukur dalam kepemimpinan. Ini terbukti di Indonesia, di mana moralitas seorang calon pemimpin—bahkan sesederhana shalat—bisa menjadi penentu kemenangan.

Dialog Ilahiah: Hikmah di Balik Perdebatan


Al-Qur'an dan riwayat para nabi seringkali menampilkan dialog yang menunjukkan kecerdasan dan kedalaman berpikir. Kisah Nabi Ibrahim yang berdialog dengan Malaikat Izrail tentang kematian, atau kisah Jubair bin Mud'im yang memeluk Islam setelah mendengar bacaan Nabi Muhammad tentang penciptaan langit dan bumi, menunjukkan bagaimana kebenaran dapat diterima melalui logika dan argumentasi yang kuat.

Baca Juga : Wanita Tercantik di Dunia Itu Bukan Hanya Soal Wajah Semata

Allah sendiri dalam Al-Qur'an menantang mereka yang menyekutukan-Nya dengan logika sederhana: "Tunjukkan kepadaku apa yang telah mereka ciptakan di bumi, atau apakah mereka memiliki bagian dalam penciptaan langit?" (Q.S. Al-Ahqaf: 4). Ayat ini mengajarkan bahwa Tuhan yang sejati adalah Sang Pencipta yang tidak butuh apapun, dan eksistensi-Nya wajib adanya. Ini menafikan segala bentuk ketuhanan selain Allah.

Kekuatan Kalimah Tauhid dan Ilmu dalam Berdakwah


Pentingnya lafaz "La ilaha illallah" tidak hanya sebagai syahadat, tetapi juga sebagai bagian dari istighfar. Menurut mazhab Syadziliyah, mengucap lafaz ini bahkan lebih didahulukan daripada istighfar, karena kekuatan kalimat tauhid itu sendiri mampu menghapus dosa, sebagaimana orang kafir puluhan tahun bisa diampuni dosanya hanya dengan melafazkannya.

Oleh karena itu, ulama menganjurkan agar kita tidak hanya membaca Al-Qur'an secara kuantitas, tetapi juga meresapi maknanya. Santri dan umat diharapkan melatih logika dan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah, agar bisa menjelaskan keesaan Tuhan dengan argumentasi yang kuat dan jelas, bahkan kepada orang ateis sekalipun.

Baca Juga : MasyaAllah Parenting Ibunya Adem Banget, Perlakuan Kepada Mantu dan Anak Laki-Lakinya yang Berbeda

Islam Indonesia, dengan filosofi padinya, terus beradaptasi dan berkembang. Fleksibilitas ini tidak mengurangi keteguhan iman, justru menjadikannya lebih relevan dan mampu berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat, mengukuhkan nilai-nilai kebaikan dalam sendi-sendi kehidupan bernegara.

  
 Ditulis dari Kajiannya Gus Baha
Penyunting: Yogi Permana

"Selama kita masih punya hati yang hidup, mari sebarkan kebaikan" www.atmosferku.com
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar